Satu jam waktu terlewati hingga keduanya saat ini sudah sampai di apartemen Molly. Baik Alfa ataupun Molly, dari mereka belum ada yang mau untuk membuka suara. Alfa yang masih merasa kesal karena keras kepalanya Molly, dan Molly juga yang masih merasa sikapnya Alfa sudah terlalu berlebihan.
“Jangan sampe gue seret lo pulang sekarang juga. Gak usah batu jadi manusia, itu, dikasih tahu yang baik malah gak mau ngerti.”
Kalimat itu masih terngiang jelas di kepala Molly ketika dirinya yang dipaksa untuk pulang saat sedang latihan tennis. Sebenarnya, Molly juga sadar kalau maksud kekasihnya itu baik karena kondisi Molly selama latihan sedang dalam posisi yang kurang baik. Bekas cedera di kakinya tiba-tiba saja kembali terasa sampai Bang Arman terpaksa harus memberi tahu Alfa karena dirinya Molly tetap bersikeras untuk latihan. Tentunya Molly menolak untuk beristirahat pun karena dirinya masih merasa mampu untuk menyelesaikan latihannya. Molly mengerti di mana waktunya ia harus berhenti.
“Mau sampe kapan kamu pasang muka kayak begitu?”
Suara bariton itu pun akhirnya menyapa kembali kedua telinga Molly. Di saat dirinya masih berusaha menyibukkan diri dengan menaruh beberapa peralatan tennisnya dan enggan untuk berbicara dengan Alfa yang saat ini memperhatikan setiap gerak-geriknya.
“Duduk.” Suara itu terdengar lebih tegas dari sebelumnya. “Kalo kamu ngerasa kesel sama aku, bilang ke aku sekarang. Diem kayak begitu, tuh, gak nyelesaiin masalah.”