Molly hanya memilih untuk diam. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia pun merasa kalau apa yang dilakukan Alfa tentu bermaksud baik untuk dirinya. Namun, kembali lagi pada posisi Molly yang juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memberikan performa paling baik dari dirinya untuk turnamen tennis yang akan dirinya ikuti dalam kurun waktu seminggu lagi.
“Aku gak pernah ngelarang kamu buat ikut turnamen apa pun. Justru aku selalu jadi orang yang ngerasa bangga kalo kamu bisa ikut turnamen, karena itu juga salah satu pencapaian terbesar kamu jadi seorang atlet. Tapi, ada waktunya kamu buat ngerti juga tentang diri kamu sendiri, Li. Ada masanya kamu gak harus maksain kehendak di waktu tubuh kamu sendiri juga butuh istirahat.” Alfa meraih tangan Molly. “Aku ngerti juga kalo kemenangan itu pasti tujuan untuk semua orang yang berprofesi sama kayak kamu. Tapi, bisa sampe ke titik itu juga harus ada kondisi tubuh yang kamu jaga biar bisa terus baik selama pertandingannya.”
Sedikitnya, Molly memahami bagaimana kekhawatiran Alfa itu. Terlebih lagi Molly sendiri memiliki riawayat cedera yang mengharuskannya untuk lebih berhati-hati dalam segala hal yang menyangkut dunia atltetnya itu. Namun, kekesalannya pada Alfa belum juga usai di setiap kali dirinya mengingat bagaimana cara Alfa tadi mengajaknya pulang. “Seenggaknya kalo kamu emang ngerti tentang hal itu, kamu bisa omongin pakai cara baik-baik sama aku. Gak harus sampe kamu marahin aku kayak begitu tadi. Aku gak suka cara kayak begitu, Fa.”
Alfa menghela napasnya. Ia menyadari mungkin caranya memang salah yang sudah memaksa Molly untuk pulang dan menghentikan sesi latihannya. “Iya. Aku sadar kalo cara aku tadi salah sudah keburu marahin kamu kayak begitu. Aku sadar kalo aku sudah terlalu kebawa rasa khawatir sampe gak mikirin cara bicara dan tindakan aku gimana ke kamu.” Tatapan Alfa melembut setelahnya. “Aku minta maaf, ya.”