“Kamu bilang kamu ngerti kalo setiap turnamen itu penting buat aku, dan latihan tadi juga penting buat aku, Fa. Walaupun mungkin menurut kamu tadi cuma latihan aja, tapi buat aku itu penentu gimana performa aku nanti pas tanding. Terserah kamu mau bilang aku terlalu ambisius buat menang atau gimana, tapi ini turnamen kedua aku setelah bunda akhirnya mau ngeliat diri aku sebagai seorang atlet. Aku cuma mau menang, Fa. Aku mau kasih liat semuanya ke bunda kalo aku memang bener-bener bisa buat dia bangga di jalan yang aku pilih sendiri.”
Dan pada akhirnya Alfa pun mengerti alasan apa dibalik tekad wanita itu yang sampai membuat dirinya harus mati-matian mengerahkan usahanya di waktu wanita itu masih dalam posisi latihan saja.
“Kamu tahu juga, kan, gimana susahnya aku buat sampe di titik ini. Sampe bunda mau ngeliat jalan yang aku ambil ini bisa jadi kebanggaan sendiri buat dia.” Napas Molly kini mulai tercekat karena ada rasa sesak di dalam dadanya yang sudah berusaha ia pendam. “Walaupun aku sadar kalo kesadaran Bunda juga ada bantuan dari kamu yang sudah berhasil bujuk dia buat nonton pertandingan aku yang lalu, tapi aku tetap mau buktiin ini sendiri, Fa. Aku mau kasih bukti pakai cara aku sendiri biar usaha kamu buat bikin Bunda aku baik itu juga gak sia-sia.”
Dengan segera Alfa membawa tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Melewati waktu yang cukup lama untuk sampai di titik ini, bukan lah perkara yang mudah untuk Molly. Alfa sebagai salah satu orang yang menyaksikan hampir setengah perjuangan Molly pun akhirnya sadar mengapa ambisi Molly kini semakin besar. Wanita itu hanya ingin menunjukkan segala kemampuan yang dipunya untuk membanggakan sosok bundanya. Sosok bundanya yang dulu enggan untuk menerima keputusan Molly menjadi seorang atlet.