“Kamu tahu tentang bunga Wijaya Kusuma, Rei?’
“Maksudnya?”
“Wijaya Kusuma.”
“Tidak.”
“Itu bunga langka. Warnanya putih, bersih. Bunga ini hanya mekar di malam hari dan cuma hidup beberapa jam.”
“Lantas?”
Ia tersenyum.
“Menurutku, kita seperti bunga Wijaya Kusuma.”
“Aku makin nggak ngerti.”
“Masa remaja kita begitu singkat, Rei. Seprti halnya bunga Wijaya Kusuma yang hanya mekar sebentar saja. Dan pada masa yang singkat itu, kita sering menemukan diri kita berjalan tanpa arah.”
Aku terdiam, menyimak perkataannya dengan seksama. Ia pula yang membuatku bertahun-tahun setelahnya, ketika aku harus menghadapi masalah, menjadikanku memiliki keberanian.
Gadis itu bernama Florina. Dan aku tidak tahu di mana ia berada.